3/28/2013

Kantor PBB di Afrika Tengah Dijarah

Kabar Perang-Afrika Tengah: Penjarah menyerbu Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa dan rumah karyawannya sesudah pemberontak menguasai ibu kota Republik Afrika Tengah. Hal ini dikatakan juru bicara pada Senin (25/3).

"Tembakan dan penjarahan berlanjut saat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dijadwalkan membahas kemelut itu pada hari sama," kata juru bicara badan dunia tersebut, Martin Nesirky.

"Tampaknya masih ada tembakan dan penjarahan di Bangui," kata Nesirky kepada wartawan.

"Beberapa kantor Perserikatn Bangsa-Bangsa dan tempat tinggal karyawan, baik warga setempat maupun asing, dijarah," tambahnya.

Ke-15 negara anggota Dewan Keamanan diperkirakan mengeluarkan pernyataan menyerukan kembali ke undang-undang dasar sesudah Presiden Francois Bozize lari dari pemberontak pada Minggu.

"Ada presiden baru, menyatakan diri dengan cara benar-benar tidak sah dan pertanyaan kami adalah bagaimana kembali ke undang-undang dasar, bagaimana pemilihan umum secepat mungkin," kata dutabesar Prancis untuk badan dunia itu, Gerard Araud, kepada wartawan saat mengumumkan pertemuan itu.

"Dalam beberapa hari mendatang, kami akan melihat apa yang bisa kami lakukan untuk meyakinkan presiden baru itu untuk menyelenggarakan pemilihan umum," tambah Araud.

Pemimpin persekutuan pemberontak Seleka Michel Djotodia menyebut diri pemimpin baru Republik Afrika Tengah. Kepada Radio France Internationale, ia menyatakan berencana mengadakan pemilihan umum bebas dan terbuka dalam tiga tahun.

Prancis, Amerika Serikat, dan Ketua PBB Ban Ki-moon menyeru pemberontak menghormati kesepakatan perdamaian 11 Januari, yang membentuk pemerintah persatuan bangsa. Sejauh ini, Perdana Menteri Nicolas Tiangaye, tetap menjabat.

Pemberontak Republik Afrika Tengah itu memulai lagi pertempuran setelah tenggat kepada pemerintah untuk memenuhi tuntutan mereka, sesuai dengan perjanjian perdamaian, berakhir.

Pemberontak Seleka menyatakan tidak akan menarik pasukan, kecuali pemerintah membebaskan tahanan politik dan pasukan Afrika Selatan meninggalkan negara itu.

Seleka, yang berarti persekutuan, menandatangani perjanjian perdamaian pada 11 Januari dengan pemerintah Bozize di ibukota Gabon, Libreville.

Perjanjian ditengahi pemimpin kawasan itu menetapkan pemerintah baru persatuan bangsa, yang telah dibentuk dan kini dipimpin anggota lawan, Nicolas Tiangaye, dan mencakup anggota Seleka.

Perjanjian itu mengakhiri serangan sebulan Seleka, yang dengan cepat menguasai wilayah utara dan berhenti antara lain berkat campur tangan tentara Chad sebelum pemberontak itu menyerbu Bangui, ibukota Republik Afrika Tengah.

Seleka, persekutuan longgar tiga kelompok bersenjata, memulai gerakan bersenjata mereka pada 10 Desember dan menguasai sejumlah kota penting di Republik Afrika Tengah.

Mereka menuduh Presiden Francois Bozize tidak menghormati perjanjian 2007, yang menetapkan anggota yang meletakkan senjata akan dibayar.

No comments:

Post a Comment





Supported By Mael For You